Mendaras Qur’an

Quran-Woman-with-children-2-600x400

Saya selalu kagum dengan cara kerja otak anak-anak. Betul-betul seperti spons yang punya pori super banyak. Tebal dan kalau sudah nyimpen air, volumenya akan berkali-kali lipat ketimbang volume ruang spons itu.

Kami sih bukan pasangan yang terlalu sak ‘klek‘ dengan agama. Masih kelas bawah menuju tengah. Dan berharap terus menerus bikin kebaikan untuk diri sendiri dan liyan. Yang penting: kewajiban ditunaikan dan hak Tuhan tidak diabaikan.

Saya juga nggak ‘ngoyo’ bikin supaya anak-anak menjadi penghafal Qur’an. Kalau memang jalannya kesitu sih ya bonus aja. Tapi paling tidak saya ingin anak-anak bisa hafal surat pendek. Alasannya simpel: supaya kalau siap sholat, mereka nggak bingung baca surat Qur’an yang cuma itu-itu saja.

Jadi ceritanya saya pengen mbuktiin kalau anak-anak adalah plagiator ulung. Saya bikin metode murottal bacain surat-surat pendek tiap malam menjelang tidur. Dua anak saya: L (4Y) dan S (3Y) nggak protes. Malah si kecil S nanya, “Bunda nyanyi apa sih?” Loh!! Dia menyamakan mendaras Qur’an dengan menyanyi. Wes, gak popo…

Tiap menjelang tidur malam, satu per satu surat pendek saya bacakan pelan-pelan. Awalnya mereka diam saja. Dua-tiga-empat malam masih diam. Barangkali memang belum hafal. Biasanya sih sampai malam ke tujuh atau delapan, si besar L mulai ‘grathul-grathul’ ngikut murottal bareng.

Nah, si bungsu S ini agak beda. Kalau murottal malam memang nggak pernah mau baca. Justru milih diam dan mendengar. Tapi begitu siang, kalau pas quality time -naik sepeda motor berdua misalnya- selalu minta baca surat yang saya berikan malamnya. Meski masih ‘celat’ makhrojnya tapi arahnya jelas.

Kalau sudah kelihatan mau melafal begini -meski harus bareng sama Mboknya-, ini pertanda anak-anak sudah siap ditambahi surat Quran yang baru untuk malam berikutnya. Parameternya ya si bungsu S tadi.

Menurut saya, ini cara yang jitu banget ngasih hafalan ke mereka. Menjelang tidur, gelombang otak anak menjadi rileks. Frekuensi otak menuju gelombang bheta. Pada level inilah, segala rangsangan input bisa masuk dengan mudah dan terekam hebat di ingatan mereka. Yang terjadi, L dan S kadang-kadang laporan ke saya, surat apa yang dilafal ayahnya tiap sholat jama’ah maghrib pada senja sebelumnya.

Ini juga sebenarnya ngelatih saya untuk menghafal lagi tiap-tiap huruf, makhroj dan tajwid. Juga urut-urutan surat pendek di Al Qur’an. Sudah hafal ayatnya tapi sering lho nggak tahu urutan sebenarnya di juz 30 itu. Kadang ditagih juga sama mereka, “Bun, yang dibaca tadi cerita tentang apa sih?”. Duh, jadi belajar munasabah Qur’an juga.

So, jangan malas, jangan menunda. Bukankah jika tidak tahan lelahnya belajar, maka kau harus tahan menanggung perihnya kebodohan? (Imam Syafi’i). #koreksi diri-koreksi hati, semoga dijuhkan dari sifat riya’ juga iri

-26 Agustus 2017, dini hari-
credit photo: Qur’an Woman and Children (https://muslimvillage.com)

Posted in Jagongan | Leave a comment

Kondom itu Rasanya, hmmmm….

iStock_kondomerSembilan tahun lalu, saya terlibat kampanye ATM Kondom di Jogja. Bagian dari advokasi seks sehat dan bertanggungjawab. Masih seperti sekarang, waktu itu juga timbul pro-kontra. Bahkan pada saat kami -tim advokasi kesehatan reproduksi- membuka diskusi terbuka di toko buku Gramedia Jogja, yang hadir nggak hanya masyarakat peduli kesehatan tapi juga mereka para aktivis Islam garis keras. Rasanya ketar-ketir

Sampai sekarangpun saya masih juga heran. Kok ya kondom dikriminalisasi, dicap jahat setinggi langit. Kondom itu bukan penjahatnya lho. Kelompok ilmiah masih setuju bahwa lebih baik menunda seks atau lakukan mutual monogamy. Bahkan penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang utuh dan interaksi sosial yang baik akan membikin masyarakat sejahtera.

Saya memilih kondom dibandingkan alat kontrasepsi yang lain untuk merencanakan kehamilan. Suami saya tak berkeberatan dengan pilihan ini. Meski tiap kali beli kondom, dia selalu mendhawuh saya. It’s OK kok.

Penasaran memang, gimana sih rasanya pake kondom? hohoho, pengakuannya unik. “Rasanya seperti kalo liat film tapi saat bagian ending, compact disknya tiba-tiba rusak,” begitu dia bilang. Well, kalau laki-laki mau pake kondom, berarti dia tidak egois!

Dari dulu kondom terus saja kontroversial. Padahal kita maunya melihat kondom itu hanya sebagai salah satu alat kesehatan. Ini alat kontrasepsi pria. Coba bandingkan dengan pil KB, IUD. Kalau fungsinya untuk mencegah kehamilan, keduanya sama saja. Iklan pil KB di TV nggak harus ditentukan waktunya. Siang hari boleh saja diputar. Beda dengan kondom yang harus malam hari. Tapi sekarang ini sepertinya malah iklan kondom tidak ada. Saya nggak paham ada apa.

Pria bisa berpartisipasi menggunakan kontrasepsi dengan pemakaian kondom itu. Bahkan baru-baru ini, Sabatino Ventura dari Monash University, Australia menemukan pil kontrasepsi untuk pria meski masih dikaji efektifitasnya.

Selain alat pencegah kehamilan, kondom memang dipromosikan untuk mencegah PMS (penyakit menular seksual). Meski kemudian muncul kekhawatiran publik bahwa kondom dapat mendorong seks bebas. Kalau fungsinya begitu, mengapa pil KB tidak diprotes?

Mengutip analisa kawan lama, dr Ifta Choiriyah, sedikit sekali orang Indonesia yang menggunakan kondom. Bayangkan, penduduk Indonesia berjumlah 150 juta lebih sementara penjualan kondom hanya 25 juta per tahun.

Komunitas ilmiah tidak ada yang mengklaim efektifitas kondom itu 100 persen. Bahkan di kemasan kondom juga disebutkan begitu. Malah ada anjuran mutual monogamy pula.

Nah, pekan kondom nasional sekarang ini menurut saya nggak ada salahnya. Nafsiah Mboi juga tak perlu dikambinghitamkan. Yang saya tidak setuju adalah ketika kondom itu dibagikan gratis kepada semua umur tanpa kontrol. So, saya kira nggak perlu menolak pembagian kondom gratis. Yang perlu: tolak rokok gratis!

Posted in Jagongan | 2 Comments

Kencing

This gallery contains 8 photos.

“Kencing saja disitu. Tunggu dan lihatlah!” Perut saya tiba-tiba mual. Benar saja, berbondong-bondong kupu-kupu menghampiri kubangan air kencing tadi. Mereka seperti berebut kapling. Kemruyuk! Hei, tapi ini objek bagus. Kalau sedang musimnya, tiap pagi di tempat yang terkena cahaya matahari, … Continue reading

More Galleries | Tagged , , , , | 3 Comments

Senja yang Menghidupkan

This gallery contains 5 photos.

Setahun penuh tinggal di barak, cukup membikin otak tak terhibur sama sekali. Bayangkan saja, berderet-deret kamar seluas 3×4 meter itu dipenuhi oleh lelaki-lelaki kesepian. Mending kalau greeny, lha ini sudah bau tanah semua. Dan saya, satu-satunya perempuan yang menghuni satu … Continue reading

More Galleries | Tagged , , , , | Leave a comment

Karena Ibu Adalah Madrasah

Image

Perempuan itu istimewa. Peran mereka ada dalam berbagai hal. Keberadaannya adalah kunci. Saya perempuan. Tetapi tulisan ini bukan pembenaran atas peran mereka.

Sudah jamak jika perempuan selalu identik dengan makhluk lemah. Setujukah demikian? Seperti mata rantai yang tak putus saja. Tiap kali lelaki kecil menangis, maka yang terucap, “Hei, anak lelaki tak boleh menangis. Seperti anak perempuan saja,”. Atau kalimat begini, “Kamu lelaki harus bisa jagain perempuan,”. Ahhh, terdengar mengerikan!

Saya tak sedang membahas kesetaraan gender, emansipasi atau apapun itu istilahnya. Saya feminis. Tetapi pemahaman saya tentang ini bukan berarti perempuan ditempatkan betul-betul setara dengan lelaki dalam berbagai macam hal.

Boleh-boleh saja mereka menggugat peran perempuan yang selalu timpang dibanding lelaki. Tapi saya percaya kuasa Tuhan. Keduanya boleh setara namun dalam porsinya masing-masing. Ajaran agama yang saya yakini juga merujuk demikian. Bahkan dalam kitab kami, terdapat satu surat yang khusus membahas perempuan. Bisa terbayang, betapa sosok mereka sangat dihormati.

Lalu, siapa bilang jadi ibu itu adalah peran yang biasa-biasa saja, pilihan tak populer dan tak istimewa. Hentikan cemoohan itu. Sekali lagi peran mereka keren!

Oleh-Nya, ‘wadah ajaib’ itu disisipkan pada perempuan. Tuhan hanya memilih mereka. Disitulah maka manusia akan beranak pinak, bercucu bahkan berpiut.

Tiap-tiap bayi adalah kekuatan. Mereka manusia anyar tapi bukan liyan. Raganya pernah menyatu dengan ibu. Hanya perempuan hebatlah yang mampu melahirkan bayi-bayi istimewa itu.

Karena kodrat inilah maka perempuan harus istimewa. Ia mesti lebih tangguh dibanding lelaki. Ia harus lebih mandiri, lebih cekatan, lebih cerdas daripada lelaki.

Saya tidak sedang nyinyir dengan perempuan-perempuan yang mati-matian mengejar karir. Oke, itu hanya pilihan. Seorang ibu yang berkarir berarti mereka bekerja di ruang publik. Sementara ibu yang hanya di rumah saja, maka ia bekerja dalam lingkup domestik. Tak ada yang salah dengan pilihan itu. Semua punya konsekuensi masing-masing.

Generasi unggul terbentuk dari lingkup keluarga yang punya visi jelas dan konsisten dengan apa yang menjadi tujuannya. Dan ibu adalah kunci. Maka, mereka harus sekolah tinggi-tinggi. Supaya melek dunia. Ruang lingkupnya tak boleh hanya urusan dapur dan kasur saja. Yahh, pekerjaan domestik mestinya harus khatam lebih dulu.

Tunggu! Perempuan sekolah tinggi-tinggi selalu dianggap lelucon. Ada anggapan: untuk apa sekolah tinggi kalau pada akhirnya harus mengurus anak dan suami. Tetapi perempuan harus melakukannya. Bukankah seumur hidup adalah proses belajar? Apa guna jika ilmu yang telah kita telan hanya digunakan untuk memperpandai diri sendiri? Bukankah jika ilmu itu diturunkan maka akan berdayaguna?

Anak adalah investasi akhirat. Persiapan untuknya mesti kualitas terbaik. Ayah adalah komando sementara ibu berperan sebagai navigator. Itulah mengapa, seorang ibu haruslah perempuan hebat, cerdas dan yang tak kalah penting: TANGGUH!

Generasi bangsa ini harus berubah. Tak perlu berencana besar mengubah sistem negara. Itu terlewat susah. Mulai saja dalam lingkup keluarga, zona terkecil.

Maka, berbahagialah menjadi ibu. Perempuan yang selalu bersetia dengan kodratnya. Baik ibu yang memilih lingkup publik maupun domestik. Cerdaskanlah generasimu. Belajarlah segalanya selama hidup. Karena ibu adalah madrasah….

note : sadur gambar dari http://ceritasihejo.blogspot.com/2012/12/menuju-wajah-blog-impian.html

Posted in Jagongan | 2 Comments